1.1 Latar Belakang
Pembangunan desa
akan semakin
menantang di
masa depan
dengan kondisi perekonomian
daerah yang semakin terbuka dan kehidupan
berpolitik yang lebih demokratis. Akan tetapi desa sampai kini, masih belum
beranjak dari profil
lama, yakni terbelakang dan
miskin. Meskipun banyak pihak mengakui bahwa desa mempunyai
peranan
yang
besar bagi kota,
namun
tetap
saja desa
masih dipandang rendah dalam hal ekonomi ataupun yang lainnya. Padahal kita ketahui bahwa sebagian besar penduduk Indonesia berdiam di daerah perdesaan dan berprofesi sebagai petani kecil (lahan terbatas/sempit). Oleh karena itu, sudah sewajarnya bila pembangunan perdesaan harus menjadi prioritas utama dalam segenap rencana strategis dan kebijakan pembangunan
di Indonesia. Jika tidak, maka jurang pemisah antara kota dan desa akan semakin tinggi terutama dalam hal perekonomian.
Beberapa program-program pembangunan perdesaan yang
pernah
dilaksanakan, misalnya program bidang pangan, program Inpres Desa Tertinggal,
dan Program Pusat Pengembangan
Terpadu
Antar
Desa
(PPTAD) merupakan salah satu
upaya pemerintah dalam rangka mengembangkan perdesaan
dalam
mengejar
ketertinggalannya dari
perkotaan. Guna mendorong
peningkatan pangan, program-program pembangunan yang
pernah dilaksanakan adalah KOGM
(Komando Gerakan Makmur), Bimas (Bimbingan Massal), Inmas
(Intensifikasi Massal), Insus (Intensifikasi Khusus), dan Supra Insus.
Selain itu guna menyokong program
pangan, pemerintah menyediakan bantuan kredit usaha tani (KUT) bagi para petani dalam memberikan permodalan dalam pengelolaan
lahannya.
Akan tetapi, program-program tersebut belum mampu meningkatkan
kesejahteraan petani karena harga beras lokal masih relative lebih tinggi dibandingkan dengan
harga beras impor. Sedangkan dana pengembalian KUT sampai saat ini
banyak yang menunggak karena petani tidak mampu membanyar cicilan tersebut. Adapun program IDT dan PPTAD
lebih cenderung pada pembangunan fisik saja sehingga penekanan terhadap pembangunan
masyarakat umum kurang tersentuh.
Padahal berbagai persoalan yang
membutuhkan penanganan pembangunan
masyarakat desa sesungguhnya sangat
mendesak, seperti
ketertinggalan desa dari
kota hampir disegala bidang, tidak terakomodasinya
keinginan dan kebutuhan masyarakat dalam program-program pemerintah, dan kualitas pendidikan dan kesehatan masih rendah.
Berdasarkan pengalaman tersebut sudah seharusnya pendekatan
pembangunan perdesaan
mulai diarahkan
secara integral
dengan mempertimbangkan kekhasan daerah
baik dilihat dari sisi kondisi,
potensi dan
prospek dari masing-masing daerah. Namun di dalam penyusunan kebijakan pembangunan perdesaan secara umum dapat dipilah dalam tiga
kelompok
(Haeruman, 1997), yaitu:
1.
Kebijakan secara tidak langsung diarahkan pada penciptaan kondisi
yang menjamin kelangsungan setiap
upaya
pembangunan perdesaan yang mendukung kegiatan
sosial
ekonomi, seperti penyediaan
prasarana dan sarana pendukung (seperti pasar, pendidikan, kesehatan, jalan), penguatan kelembagaan, dan perlindungan terhadap aktivitas sosial ekonomi masyarakat melalui perundang-undangan.
2.
Kebijakan yang langsung diarahkan pada peningkatan
kegiatan ekonomi
masyarakat perdesaan.
3.
Kebijakan khusus menjangkau masyarakat melalui upaya khusus, seperti penjaminan hukum melalui perundang-undangan dan penjaminan terhadap keamanan dan kenyamanan masyarakat.
Di samping itu, kebijakan pembangunan perdesaan
harus dilaksanakan
melalui pendekatan sektoral dan regional. Pendekatan sektoral dalam perencanaan
selalu dimulai dengan pertanyaan yang menyangkut sektor apa
yang perlu dikembangkan untuk mencapai tujuan pembangunan.
Berbeda dengan
pendekatan sektoral, pendekatan regional lebih menitikberatkan pada
daerah mana yang perlu mendapat
prioritas untuk dikembangkan,
baru kemudian sektor apa yang sesuai untuk dikembangkan di masing-masing daerah. Di
dalam kenyataan, pendekatan
regional sering
diambil
tidak dalam kerangka totalitas,
melainkan hanya untuk beberapa daerah tertentu, seperti daerah terbelakang, daerah
perbatasan, atau daerah yang diharapkan
mempunyai
posisi strategis dalam arti ekonomi-politis. Oleh karena arah yang dituju adalah gabungan antara pendekatan
sektoral dan
regional, maka
pembangunan daerah perlu selalu dikaitkan dimensi
sektoral dengan dimensi spasial (Azis, 1994).
Undang-undang Penataan Ruang (UUPR) tahun 1992
menyebutkan bahwa penataan ruang kawasan perdesaan diselenggarakan sebagai bagian dari
penataan
ruang wilayah nasional
atau wilayah
propinsi
dan
kabupaten/kota.
Penataan kawasan
perdesaan
harus
disesuaikan dengan
kegiatan-kegiatan perekonomian
yang ada dikawasan yang bersangkutan. Kawasan
perdesaan merupakan kawasan
yang memiliki kegiatan utama di
sektor pertanian,
termasuk
didalamnya pengelolaan sumber daya alam dengan susunan
fungsi kawasan sebagai tempat permukiman
perdesaan, pelayanan
jasa pemerintahan, pelayanan sosial,
dan kegiatan ekonomi. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa membangun pertanian pada hakekatnya adalah membangun perekonomian desa itu sendiri.
Sebagaimana diketahui bahwa kegiatan pertanian yang ada di
desa sangat
beragam. Karakteristik kegiatan perekonomian pada suatu kawasan pada
dasarnya dapat dibedakan
menjadi tiga sektor
pertumbuhan (Soedrajat,
1997),
yaitu
(1) sektor pertumbuhan primer, yakni
sektor
atau
kegiatan ekonomi yang menciptakan pertumbuhan pesat dan menciptakan kekuatan ekspansi ke
berbagai sektor
lain
dalam
perekonomian,
(2) sektor pertumbuhan suplementer,
yakni sektor yang berkembang dengan cepat sebagai akibat langsung dari perkembangan
di sektor pertumbuhan primer, dan (3) sektor pertumbuhan terkait, yakni sektor atau ekonomi yang berkembang seirama dengan kenaikan pendapatan, penduduk dan produksi sektor industri.
Biro Pusat Statistik (1990) mengklasifikasikan sektor perekonomian pada Tabel Input-Output
(Tabel
I-O) tahun
1990
ke dalam dua
kriteria, yaitu
asas kesatuan komoditi dan kesatuan kegiatan (Tjandrawan, 1994). Prinsip utama pengklasifikasian ini adalah keseragaman (homogenitas)
dari tiap sektor, sehingga barang
dan
jasa atau kegiatan perekonomian yang tercakup
dalam satu sektor
harus memiliki sifat
yang
relative homogen. Oleh karena itu, pengklasifikasian 19 sektor pada tabel I-O Tahun 1990, khususnya untuk sektor pertanian, dibagi ke dalam enam sub
sektor pertanian, yaitu padi/persawahan, tanaman pangan, perkebunan, peternakan, kehutanan, dan perikanan. Hal ini dapat dijadikan dasar keragaman kegiatan pertanian di perdesaan.
Adapun Mubiyarto (1994)
membagi tipologi desa tertinggal
di Propinsi Jawa Tengah ke dalam sembilan tipologi berdasarkan komoditas basis pertanian dan kegiatan mayoritas petani pada desa tersebut. Kesembilan karakteristik desa adalah desa persawahan, desa lahan kering, desa perkebunan,
desa peternakan, desa nelayan, desa hutan,
desa industri kecil, desa buruh industri, dan desa jasa dan perdagangan. Sedangkan Soedrajat (1997)
membagi
tipologi ke
dalam 4 kategori, yaitu:
1.
Desa pantai adalah desa yang kegiatan utamanya dalam penangkapan ikan,
2.
Desa persawahan adalah desa
yang
mayoritas penggunaan
lahan
untuk persawahan terutama tergantung pada produktivitas penanaman padi,
3.
Desa perkebunan adalah desa yang mayoritas penggunaan
lahannya untuk perkebunan,
4.
Desa perladangan adalah desa yang kegiatan
utamanya dalam perladangan (menanam tanaman pangan tadah hujan dan palawija).
Sedangkan berdasarkan kriteria Kawasan
Terpilih Pusat Pengembangan Desa (KTP2D), tipologi
desa dibagi ke
dalam
enam tipologi berdasarkan kegiatan
ekonominya, yaitu desa industri,
desa pertanian
tanaman pangan,
desa perkebunan, desa perikanan, desa pariwisata/jasa, dan desa peternakan.
Berdasarkan paparan di atas jelas bahwa belum ada keseragaman dalam penentuan tipologi desa. Namun terdapat kesamaan pandangan dalam
penentuan tipologi desa yaitu didasarkan pada kegiatan perekonomian yang utama dari
desa tersebut. Dengan mengetahui komponen utama dari
aktivitas ekonomi suatu desa, maka kebijakan
dan perencanaan
pembangunan
desa dapat disesuaikan dengan tipologi desa tersebut. Pembangunan desa yang terfokus
pada kegiatan ekonomi
desa tersebut,
diharapkan
dapat
memberikan multiplier efek
yang luas, seperti
perluasan lapangan kerja, investasi, pembangunan infrastruktur dan
lain sebagainya. Selain itu diharapkan terjadinya keterkaitan ke
belakang dan ke
depan (bacward and forward linkages) baik antar desa maupun antara desa dengan kota. Lebih lanjut diharapkan adanya perbaikan kualitas hidup dan kesejahteraan bagi masyarakat desa tersebut dan sekaligus dapat mengatasi kemiskinan yang ada di desa.
1.2 Perumusan Masalah
Berbagai sudut pandang dapat digunakan untuk menelaah pembangunan
perdesaan. Menurut Haeruman (1997), ada dua
sisi pandang untuk menelaah perdesaan, yaitu:
1.
Pembangunan perdesaan
dipandang
sebagai
suatu proses
alamiah
yang bertumpu pada potensi yang dimiliki
dan kemampuan
inheren masyarakat
desa. Pendekatan ini
meminimalkan campur
tangan
dari
luar
sehingga perubahan yang diharapkan berlangsung dalam rentang waktu yang panjang.
2.
Sisi yang lain memandang bahwa pembangunan
perdesaan
sebagai
suatu interaksi antara potensi yang dimiliki oleh masyarakat desa dan dorongan dari luar untuk mempercepat pembangunan perdesaan.
Adapun sasaran pokok pembangunan perdesaan adalah terciptanya kondisi
ekonomi rakyat di perdesaan yang kukuh, dan mampu tumbuh secara mandiri dan berkelanjutan.
Sasaran pembangunan perdesaan tersebut
diupayakan secara bertahap dengan langkah:
pertama, peningkatan kualitas tenaga kerja
di perdesaan, kedua, peningkatan
kemampuan aparatur pemerintah desa; ketiga, penguatan lembaga pemerintahan dan lembaga masyarakat desa; keempat, pengembangan kemampuan
sosial
ekonomi
masyarakat desa;
kelima, pengembangan prasarana dan sarana perdesaan; dan
keenam, pemantapan keterpaduan pembangunan desa yang berwawasan lingkungan
Namun
dalam mewujudkan
sasaran pembangunan perdesaan
tersebut banyak
kendala yang akan dihadapi, yaitu masalah
pengangguran,
kemiskinan,
kesenjangan, konflik sosial dan lain
sebagainya. Masalah
kemiskinan menyebabkan ketimpangan baik
antargolongan penduduk, antarsektor
kegiatan
ekonomi maupun antardaerah. Dalam lingkup yang
lebih luas, masalah kemiskinan dan kesenjangan akan memicu kecemburuan sosial, dan
pada akhirnya mengganggu kelangsungan pembangunan.
Kemiskinan
Perkembangan jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan selama kurun waktu 1976 hingga tahun 1999 disajikan dalam Tabel 1.
Bila pada tahun 1996 (sebelum krisis ekonomi)
penduduk miskin
adalah
22,5
juta
atau
11,3%, maka pada akhir tahun 1998 jumlah penduduk miskin telah mencapai 49,5 juta
jiwa atau 24,2%. Dari prosentase
tersebut, jumlah penduduk miskin yang ada di perdesaan lebih tinggi dibandingkan
dengan di perkotaan. Hal ini bisa dimungkinkan karena sebagian
besar
penduduk Indonesia berdomisili di perdesaan
yang bermata pencaharian di sektor pertanian.
Dilihat dari profilnya, rumah tangga miskin di
Indonesia rata-rata mempunyai 5,9 anggota per rumah tangga, di mana rumah tangga miskin di perkotaan rata-rata
mempunyai 5,6 anggota per rumah tangga sedangkan di daerah perdesaan mempunyai 6,1 anggota
per
rumah tangga.
Dari
angka tersebut diketahui bahwa beban kepala rumah tangga miskin di daerah perdesaan
lebih besar
dibandingkan di daerah perkotaan.
Ciri lain
yang melekat pada rumah tangga miskin adalah tingkat pendidikan yang rendah. Data BPS 1993
memperlihatkan
bahwa
72,01% dari
rumah tangga miskin di perdesaan
di pimpin oleh kepala rumah tangga yang tidak
tamat SD dan 24,32%
dipimpin oleh kepala rumah tangga yang berpendidikan
SD. Ciri rumah tangga miskin lain yang erat kaitannya dengan tingkat pendidikan dan sebaran lokasi rumah tangga adalah sumber penghasilan.
Sekitar 62% dari rumah tangga
miskin penghasilan
utamanya
bersumber
dari
sektor
pertanian,
10,4% dari sektor perdagangan, 7,4% dari sektor industri, 6,5% dari sektor jasa- jasa dan selebihnya dari
sektor bangunan, pengangkutan,
dan lainnya. Apabila dibedakan
menurut
daerah, sebagian
besar atau
sekitar 79,5%
rumah tangga miskin di perdesaan mengandalkan pada sumber penghasilan di sektor pertanian. Ini konsisten dengan corak rumah tangga perdesaan yang sebagian besar adalah
rumah tangga petani.
Kesenjangan
Dari data BPS dapat dicatat bahwa pembagian pendapatan antar golongan penduduk dalam
kurun waktu 1978-1993 menunjukkan kecenderungan membaik. Perbaikan dalam pembagian
pendapatan
antar kelompok penduduk
ditunjukkan
oleh menurunnya indeks ketidakmerataan Gini dari 0,38 pada tahun 1978 menjadi
0,32 pada tahun 1990. Meski jumlah penduduk miskin menurun, namun indeks
Gini meningkat menjadi 0,34
pada tahun 1993.
Ini berarti terjadi
kesenjangan antar golongan
cenderung
meningkat.
Akan
tetapi
pada tahun 1996 dan 1999, ketidakmerataan
yang terjadi
di perdesaan cenderung menurun
di mana indeks Gini pada tahun
1996 adalah sebesar 0.274 dan
pada tahun 1999 menjadi 0.244 (Bappenas, 2001). Ini menunjukkan bahwa daerah perdesaan relatif mempunyai kemampuan untuk bertahan pada kondisi krisis.
Struktur Tenaga Kerja
Keterlibatan penduduk dalam
kegiatan ekonomi diukur dengan porsi penduduk
yang
masuk
dalam pasar tenaga
kerja (bekerja
atau
mencari
kerja), disebut sebagai tingkat partisipasi angkatan kerja.
Kesempatan kerja
memberikan gambaran besarnya
tingkat penyerapan tenaga
kerja, sehingga angkatan
kerja yang tidak
terserap merupakan masalah karena mereka terpaksa
menganggur.
Berdasarkan data
BPS (2000), angka pengangguran
di daerah
perdesaan lebihrendah
dibandingkan
dengan perkotaan. Di
mana pada
tahun 1998 dan 2000, angka pengangguran di
perdesaan masing-masing 3,3% dan 4,1% sedangkan
diperkotaan masing-masing 9,3% dan 9,2%.
Proporsi pekerja menurut lapangan usaha
merupakan
salah
satu ukuran untuk melihat potensi sektor
perekonomian dalam
menyerap tenaga kerja.
Di perdesaan, sektor pertanian tetap menjadi sektor yang mampu menyerap tenaga kerja yang besar dan cenderung terjadi peningkatan dari
62,9% pada tahun 1998 menjadi 66,1% pada tahun
2000. Kecenderungan tersebut dimungkinkan karena saat krisis
ekonomi
sektor
industri dan jasa
mengalami keterpurukan
sehingga banyak yang mengalihkan pekerjaannya kepada sektor pertanian
Perubahan Struktur Lahan
Perkembangan lain yang terjadi didaerah perdesaan
adalah terjadi perubahan
pada aset
penguasaan lahan. Luas lahan
yang
dimiliki
oleh rumah tangga pertanian
menurun
sebesar 4,8% dari 16,6 juta hektar pada tahun 1983 menjadi 16,0 juta
hektar pada tahun 1993 (BPS, 1994). Sementara luas lahan yang dikuasai
menurun
sebesar 3,8% dari 18,3 juta hektar menjadi 17,7 juta hektar. Penurunan luas lahan yang dikuasai oleh rumah tangga pertanian
terutama terjadi di Jawa yang menurun sebesar 14,5%.
Implikasinya adalah
menurunnya luas lahan yang
dikuasai dan meningkatnya jumlah rumah tangga petani gurem yang menguasai
lahan kurang dari 0,5 hektar. Jumlah petani gurem
ini meningkat dari 9,5 juta rumah tangga pada tahun 1983 menjadi 10,9 juta
rumah tangga petani pada tahun 1993.
Bertambahnya jumlah petani gurem ditunjukkan
oleh
menurunnya penguasaan lahan pertanian di Jawa dari 0,6 ha pada tahun
1983 menjadi 0,5 ha pada tahun
1993, sedangkan di
luar
Jawa menurun dari 1,6 ha menjadi 1,3 ha. Keterbatasan
lahan yang
dikuasai oleh
petani akan
mempersempit
peluang bagi
masyarakat desa untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan.
Kelembagaan
Kelembagaan
masyarakat
desa mencakup
dua pola hubungan, yaitu hubungan sosial dan ekonomi. Di berbagai daerah, peran dari lembaga adat masih cukup dominan terutama di daerah dengan ikatan sosial antar anggota masyarakat masih kuat (social relation) yang pada akhirnya menciptakan aturan, kesepatakan,
dan kewajiban sosial
(social
obligation). Akan tetapi kondisi tersebut
secara gradual mengalami
pergeseran.
Hubungan yang
semula didasarkan
pada
aspek sosial bergeser menjadi hubungan mempertimbangkan aspek imbalan ekonomi (economic relation).
Berbagai permasalahan desa
tersebut menjadi gambaran umum kondisi yang terjadi di
daerah perdesaan. Identifikasi permasalah tersebut selanjutnya harus dijadikan
input yang
berharga
dalam
meningkatkan
pembangunan perdesaan. Oleh karena itu, salah satu upaya dalam meningkatkan pembangunan desa adalah meningkatkan perekonomian
desa yang
dibangun berdasarkan tipologi dan potensi desa.
Sedangkan faktor-faktor yang menjadi kendala pembangunan
desa dapat dijadikan salah satu target dari upaya pembangunan perdesaan.
No comments:
Post a Comment