Tuesday 17 February 2015

PEMBANGUNAN PERDESAAAN MENUJU DESA YANG MANDIRI DAN SEJAHTERA

1.1 Latar Belakang

Pembangunan  desa  akan  semakin  menantang  di  masa  depan  dengan kondisi  perekonomian  daerah  yang  semakin  terbuka  dan  kehidupan  berpolitik yang lebih demokratis. Akan tetapi desa sampai kini, masih belum beranjak dari profil  lama,  yakni  terbelakang  dan  miskin.  Meskipun  banyak  pihak  mengakui bahwa  desa  mempunyai  peranan  yang  besar  bagi  kota,  namun  tetap  saja desa
masih dipandang rendah dalam hal ekonomi ataupun yang lainnya. Padahal kita ketahui bahwa sebagian besar penduduk Indonesia berdiam di daerah perdesaan dan berprofesi sebagai petani kecil (lahan terbatas/sempit). Oleh karena itu, sudah sewajarnya bila pembangunan perdesaan harus menjadi prioritas utama dalam segenap rencana strategis dan kebijakan  pembangunan  di Indonesia.  Jika tidak, maka jurang pemisah   antara kota dan desa akan semakin tinggi terutama dalam hal perekonomian.
Beberapa program-program pembangunan perdesaan yang pernah dilaksanakan, misalnya program bidang pangan, program Inpres Desa Tertinggal, dan  Program  Pusat  Pengembangan  Terpadu  Antar  Desa  (PPTAD)  merupakan salah satu upaya pemerintah dalam rangka mengembangkan perdesaan dalam mengejar   ketertinggalanny dari   perkotaan.   Guna   mendorong   peningkatan pangan,   program-progra pembangunan   yang   pernah   dilaksanakan   adalah KOGM (Komando Gerakan Makmur), Bimas (Bimbingan Massal), Inmas (Intensifikasi  Massal),  Insus (Intensifikasi  Khusus), dan Supra Insus. Selain itu guna menyokong program pangan, pemerintah menyediakan bantuan kredit usaha tani (KUT) bagi para petani dalam memberikan permodalan dalam pengelolaan lahannya.
Akan tetapi, program-program tersebut belum mampu meningkatkan kesejahteraan petani karena harga beras lokal masih relative lebih tinggi dibandingkan  dengan  harga  beras  impor.  Sedangkan  dana  pengembalian  KUT sampai saat ini banyak yang menunggak karena petani tidak mampu membanyar cicilan tersebut. Adapun program IDT dan PPTAD lebih cenderung pada pembangunan  fisik saja sehingga penekanan terhadap pembangunan  masyarakat umum   kurang   tersentuh.   Padaha berbagai   persoalan   yang   membutuhkan penangana pembangunan   masyarakat   desa  sesungguhny sangat  mendesak, seperti  ketertinggalan  desa  dari  kota  hampir  disegala  bidang,  tidak terakomodasinya  keinginan  dan kebutuhan  masyarakat  dalam program-program pemerintah, dan kualitas pendidikan dan kesehatan masih rendah.
Berdasarkan pengalaman tersebut sudah seharusnya pendekatan pembangunan  perdesaan  muladiarahkan  secara  integral  dengan mempertimbangkan  kekhasan  daerah  baik dilihadari sisi kondisi,  potensi  dan
prospek dari masing-masing daerah. Namun di dalam penyusunan kebijakan pembangunan perdesaan secara umum dapat dipilah dalam tiga kelompok (Haeruman, 1997), yaitu:
1.      Kebijakan secara tidak langsung diarahkan pada penciptaan kondisi yang menjamin kelangsungan setiap upaya pembangunan perdesaan yang mendukung  kegiatan  sosial  ekonomi,  seperti  penyediaan  prasarana  dan sarana pendukung (seperti pasar, pendidikan, kesehatan, jalan), penguatan kelembagaan,  dan perlindungan  terhadap aktivitas sosial ekonomi masyarakat melalui perundang-undangan.
2.      Kebijakan yang langsung diarahkan pada peningkatan  kegiatan ekonomi masyarakat perdesaan.
3.      Kebijakan khusus menjangkamasyarakat melalui upaya khusus, seperti penjaminan hukum melalui perundang-undangan dan penjaminan terhadap keamanan dan kenyamanan masyarakat.
Di samping itu, kebijakan pembangunan perdesaan harus dilaksanakan melalui pendekatan sektoral dan regional. Pendekatan sektoral dalam perencanaan selalu dimulai dengan pertanyaan yang menyangkut sektor apa yang perlu dikembangkan  untumencapai  tujuan     pembangunan.  Berbeda  dengan pendekatan sektoral, pendekatan regional lebih menitikberatkan pada daerah mana yang perlu mendapat  prioritas  untuk dikembangkan,  baru kemudian  sektor apa yang sesuai untuk dikembangkan di masing-masing daerah. Di dalam kenyataan, pendekatan  regional  sering  diambil  tidak  dalam  kerangka  totalitas,  melainkan hanya   untuk   beberap daera tertentu,   seperti   daerah   terbelakang,   daerah perbatasan,  atau daerah yang diharapkan  mempunyai  posisi strategis dalam arti ekonomi-politis. Oleh karena arah yang dituju adalah gabungan antara pendekatan sektoral dan regional, maka pembangunan daerah perlu selalu dikaitkan dimensi sektoral dengan dimensi spasial (Azis, 1994).
Undang-undang Penataan Ruang (UUPR) tahun 1992 menyebutkan bahwa penataan ruang kawasan perdesaan diselenggarakan sebagai bagian dari penataan ruang  wilayah  nasional  atawilayah  propinsi  dan  kabupaten/kota.  Penataan kawasan  perdesaan  harus  disesuaikan  dengan  kegiatan-kegiatan  perekonomian yang ada dikawasan yang bersangkutan. Kawasan perdesaan merupakan kawasan
yang   memilik kegiatan   utam di   sektor   pertanian,   termasuk   didalamnya pengelolaan  sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman   perdesaan,  pelayanan  jasa  pemerintahan,   pelayanan  sosial,  dan kegiatan ekonomi. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa membangun pertanian pada hakekatnya adalah membangun perekonomian desa itu sendiri.
Sebagaimana diketahui bahwa kegiatan pertanian yang ada di desa sangat beragam. Karakteristik kegiatan perekonomian pada suatu kawasan pada dasarnya dapat  dibedakan  menjadi  tiga  sektor  pertumbuhan  (Soedrajat,  1997),  yaitu  (1) sektor   pertumbuhan    primer yakni   sektor   atau   kegiata ekonom yang menciptakan pertumbuhan pesat dan menciptakan kekuatan ekspansi ke berbagai sektor  lain  dalam  perekonomian,  (2)  sektor  pertumbuhan  suplementer,  yakni sektor yang berkembang dengan cepat sebagai akibat langsung dari perkembangan di sektor pertumbuhan primer, dan (3) sektor pertumbuhan terkait, yakni sektor atau ekonomi yang berkembang seirama dengan kenaikan pendapatan, penduduk dan produksi sektor industri.
Biro Pusat Statistik (1990) mengklasifikasikasektor perekonomian pada Tabel  Input-Output  (Tabel  I-O)  tahun  1990  kdalam  dua  kriteria,  yaitu  asas kesatuan komoditi dan kesatuan kegiatan (Tjandrawan, 1994). Prinsip utama pengklasifikasian ini adalah keseragaman (homogenitas) dari tiap sektor, sehingga barang  dan  jasa  atau  kegiatan  perekonomian  yang  tercakup  dalam  satu  sektor harus memiliki sifat yang relative homogen. Oleh karena itu, pengklasifikasian 19 sektor pada tabel I-O Tahun 1990, khususnya untuk sektor pertanian, dibagi ke dalam enam sub sektor pertanian, yaitu padi/persawahan, tanaman pangan, perkebunan, peternakan, kehutanan, dan perikanan. Hal ini dapat dijadikan dasar keragaman kegiatan pertanian di perdesaan.
Adapun  Mubiyarto  (1994)  membagi  tipologi  desa tertinggal  di Propinsi Jawa Tengah ke dalam sembilan tipologi berdasarkan komoditas basis pertanian dan kegiatan mayoritas petani pada desa tersebut. Kesembilan karakteristik desa adalah desa persawahan,  desa lahan kering, desa perkebunan,  desa peternakan, desa nelayan, desa hutan, desa industri kecil, desa buruh industri, dan desa jasa dan  perdagangan.  Sedangkan  Soedrajat  (1997)  membagi  tipologi  ke  dalam  4 kategori, yaitu:
1.         Desa pantai adalah desa yang kegiatan utamanya dalam penangkapan ikan,

2.         Desa  persawahan  adalah  desa  yang  mayoritas  penggunaan  lahan  untuk persawahan terutama tergantung pada produktivitas penanaman padi,
3.         Desa perkebunan  adalah desa yang mayoritas penggunaan  lahannya untuk perkebunan,
4.         Desa perladangan adalah desa yang kegiatan utamanya dalam perladangan (menanam tanaman pangan tadah hujan dan palawija).


Sedangkan  berdasarkan  kriteria  Kawasan  Terpilih  Pusat  Pengembangan Desa (KTP2D), tipologi desa dibagi ke dalam enam tipologi berdasarkan kegiatan ekonominya,   yaitu   desa   industri,   desa   pertanian   tanama pangan,   desa perkebunan, desa perikanan, desa pariwisata/jasa, dan desa peternakan.
Berdasarkan  paparan di atas jelas bahwa belum ada keseragaman dalam penentuan tipologi desa. Namun terdapat kesamaan pandangan dalam penentuan tipologi desa yaitu didasarkan pada kegiatan perekonomian yang utama dari desa tersebut. Dengan mengetahui komponen utama dari aktivitas ekonomi suatu desa, maka kebijakan  dan perencanaan  pembangunan  desa dapat disesuaikan  dengan tipologi desa tersebut. Pembangunan desa yang terfokus pada kegiatan ekonomi desa  tersebut,  diharapkan  dapat  memberikan  multiplier  efek yang  luas,  seperti perluasan   lapangan   kerja,   investasi pembangunan    infrastruktur   dan   lain sebagainya. Selain itu diharapkan terjadinya keterkaitan ke belakang dan ke depan (bacward and forward linkages) baik antar desa maupun antara desa dengan kota. Lebih lanjut diharapkan adanya perbaikan kualitas hidup dan kesejahteraan bagi masyarakat desa tersebut dan sekaligus dapat mengatasi kemiskinan yang ada di desa.

1.2 Perumusan Masalah

Berbagai sudut pandang dapat digunakan  untuk menelaah  pembangunan perdesaan. Menurut Haeruman (1997), ada dua sisi pandang untuk menelaah perdesaan, yaitu:
1.      Pembangunan  perdesaan  dipandang  sebagai  suatu  proses  alamiah  yang bertumpu  pada potensi yang dimiliki dan kemampuan  inheren masyarakat desa.  Pendekatan  ini  meminimalkan  campur  tangan  dari  luar  sehingga perubahan yang diharapkan berlangsung dalam rentang waktu yang panjang.
2.      Sisi yang  lain  memandang  bahwa  pembangunan  perdesaan  sebagai  suatu interaksi antara potensi yang dimiliki oleh masyarakat  desa dan dorongan dari luar untuk mempercepat pembangunan perdesaan.


Adapun sasaran pokok pembangunan perdesaan adalah terciptanya kondisi ekonomi rakyat di perdesaan yang kukuh, dan mampu tumbuh secara mandiri dan berkelanjutan.   Sasara pembanguna perdesaa tersebut   diupayakan   secara bertaha dengan   langkah:   pertama peningkatan   kualita tenaga   kerja   di perdesaan, kedua, peningkatan kemampuan aparatur pemerintah desa; ketiga, penguatan lembaga pemerintahan dan lembaga masyarakat desa; keempat, pengembangan  kemampuan  sosial  ekonomi  masyarakat  desa;  kelima, pengembangan prasarana dan sarana perdesaan; dan keenam, pemantapan keterpaduan pembangunan desa yang berwawasan lingkungan

Namun  dalam  mewujudkan   sasaran  pembangunan   perdesaan  tersebut banyak  kendala  yang akan dihadapi,  yaitu masalah  pengangguran,  kemiskinan, kesenjangan,  konflik  sosial  dan  lain  sebagainya.  Masalah  kemiskinan menyebabkan ketimpangan baik antargolongan penduduk, antarsektor kegiatan ekonom maupun   antardaerah.   Dala lingkup   yang   lebi luas,   masalah kemiskinan   dan   kesenjanga aka memicu   kecemburuan   sosial,   dan   pada akhirnya mengganggu kelangsungan pembangunan.

Kemiskinan

Perkembangajumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan selama kurun waktu 1976 hingga tahun 1999 disajikan dalam Tabel 1. Bila pada tahun  1996  (sebelum  krisis  ekonomi)  penduduk  miskin  adalah  22,5  juta  atau
11,3%, maka pada akhir tahun 1998 jumlah penduduk miskin telah mencapai 49,5 juta jiwa atau 24,2%. Dari prosentase tersebut, jumlah penduduk miskin yang ada di perdesaan lebih tinggi dibandingkan dengan di perkotaan. Hal ini bisa dimungkinka karen sebagian   besar   pendudu Indonesia   berdomisil di perdesaan yang bermata pencaharian di sektor pertanian.
Diliha dar profilnya ruma tangga   miskin   di   Indonesia   rata-rata mempunyai 5,9 anggota per rumah tangga, di mana rumah tangga miskin di perkotaan rata-rata mempunyai 5,6 anggota per rumah tangga sedangkan di daerah perdesaan   mempunyai   6,1  anggota  per  rumah  tangga.  Dari  angka  tersebut diketahui  bahwa beban  kepala  rumah tangga  miskin di daerah perdesaan  lebih besar dibandingkan di daerah perkotaan.
Ciri   lain   yang   meleka pad ruma tangg miskin   adalah   tingkat pendidikan  yang  rendah.  Data  BPS  1993  memperlihatkan  bahwa  72,01%  dari rumah tangga miskin di perdesaan di pimpin oleh kepala rumah tangga yang tidak tamat SD dan 24,32% dipimpin  oleh kepala rumah tangga yang berpendidikan SD. Ciri rumah tangga miskin lain yang erat kaitannya dengan tingkat pendidikan dan sebaran lokasi rumah tangga adalah sumber penghasilan.  Sekitar 62% dari rumah  tangga  miskin  penghasilan  utamanya  bersumber  dari  sektor  pertanian, 10,4% dari sektor perdagangan, 7,4% dari sektor industri, 6,5% dari sektor jasa- jasa dan selebihnya  dari sektor  bangunan,  pengangkutan,  dan lainnya.  Apabila dibedakan  menurut  daerah,  sebagian  besar  atau  sekitar  79,5%  rumah  tangga miskin di perdesaan mengandalkan pada sumber penghasilan di sektor pertanian. Ini konsisten dengan corak rumah tangga perdesaan yang sebagian besar adalah rumah tangga petani.

Kesenjangan

Dari data BPS dapat dicatat bahwa pembagian pendapatan antar golongan penduduk dalam kurun waktu 1978-1993 menunjukkan kecenderungan membaik. Perbaikadalam pembagian  pendapatan  antar kelompok  penduduk  ditunjukkan oleh menurunnya indeks ketidakmerataan Gini dari 0,38 pada tahun 1978 menjadi
0,32 pada tahun 1990. Meski jumlah penduduk miskin menurun, namun indeks Gini  meningkat  menjadi  0,34  pada  tahun  1993.  Ini berarti  terjadi  kesenjangan antar  golongan  cenderung  meningkat.  Akan  tetapi  pada  tahun  1996  dan 1999, ketidakmerataan  yang terjadi di perdesaan  cenderung  menurun  di mana indeks Gini pada tahun 1996 adalah sebesar 0.274 dan pada tahun 1999 menjadi 0.244 (Bappenas, 2001). Ini menunjukkan  bahwa daerah perdesaan relatif mempunyai kemampuan untuk bertahan pada kondisi krisis.


Struktur Tenaga Kerja

Keterlibatan penduduk dalam kegiatan ekonomi diukur dengan porsi penduduk  yang  masuk  dalam  pasar  tenaga  kerja  (bekerja  atau  mencari  kerja), disebut sebagai tingkat partisipasi angkatan kerja. Kesempatan kerja memberikan gambaran  besarnya  tingkat  penyerapan  tenaga  kerja,  sehingga  angkatan  kerja yang tidak terserap merupakan masalah karena mereka terpaksa menganggur. Berdasarkan  data  BPS  (2000),  angka  pengangguran  di daerah  perdesaan  lebihrendah  dibandingkan  dengan  perkotaan.  Di  mana  pada  tahun  1998  dan  2000, angka pengangguran di perdesaan masing-masing 3,3% dan 4,1% sedangkan diperkotaan masing-masing 9,3% dan 9,2%.
Proporsi  pekerja  menurut  lapangan  usaha  merupakan  salah  satu  ukuran untuk melihat potensi sektor perekonomian dalam menyerap tenaga kerja. Di perdesaan, sektor pertanian tetap menjadi sektor yang mampu menyerap tenaga kerja yang besar dan cenderung terjadi peningkatan dari 62,9% pada tahun 1998 menjadi 66,1% pada tahun 2000. Kecenderungan  tersebut dimungkinkan  karena saat krisis  ekonomi  sektor  industri  dan jasa  mengalami  keterpurukan  sehingga banyak yang mengalihkan pekerjaannya kepada sektor pertanian

Perubahan Struktur Lahan

Perkembanga lain   yang   terjad didaera perdesaan   adala terjadi perubahan  pada  aset  penguasaan  lahan.  Luas  lahan  yang  dimiliki  oleh  rumah tangga pertanian  menurun  sebesar 4,8% dari 16,6 juta hektar pada tahun 1983 menjadi 16,0 juta hektar pada tahun 1993 (BPS, 1994). Sementara luas lahan yang dikuasai  menurun  sebesar 3,8% dari 18,3 juta hektar menjadi 17,7 juta hektar. Penurunan luas lahan yang dikuasai oleh rumah tangga pertanian terutama terjadi di Jawa yang menurun sebesar 14,5%.
Implikasinya  adalah  menurunnya  luas  lahan  yang  dikuasai  dan meningkatnya jumlah rumah tangga petani gurem yang menguasai lahan kurang dari 0,5 hektar. Jumlah petani gurem ini meningkat dari 9,5 juta rumah tangga pada tahun 1983 menjadi 10,9 juta rumah tangga petani pada tahun 1993. Bertambahnya  jumlah  petani  gurem  ditunjukkan  oleh  menurunnya  penguasaan lahan pertanian di Jawa dari 0,6 ha pada tahun 1983 menjadi 0,5 ha pada tahun
1993, sedangkan di luar Jawa menurun dari 1,6 ha menjadi 1,3 ha. Keterbatasan lahayang  dikuasai  oleh  petani  akan  mempersempit  peluang  bagi  masyarakat desa untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan.

Kelembagaan
Kelembagaan   masyarakat   desa  mencakup   dua  pola  hubungan,   yaitu hubungan sosial dan ekonomi. Di berbagai daerah, peran dari lembaga adat masih cukup dominan terutama di daerah dengan ikatan sosial antar anggota masyarakat masih kuat (social relation) yang pada akhirnya menciptakan aturan, kesepatakan, dan  kewajiban  sosial  (social  obligation).  Akan  tetapi  kondisi  tersebut  secara gradual  mengalami  pergeseran.  Hubungan  yang  semula  didasarkan  pada  aspek sosial bergeser menjadi hubungan mempertimbangkan aspek imbalan ekonomi (economic relation).
Berbagai permasalahan desa tersebut menjadi gambaran umum kondisi yang terjadi di daerah perdesaan. Identifikasi permasalah tersebut selanjutnya harus dijadikan  inpuyang  berharga  dalam  meningkatkan  pembangunan  perdesaan. Oleh karena itu, salah satu upaya dalam meningkatkan pembangunan desa adalah meningkatka perekonomian   desa  yang   dibangun   berdasarkan   tipologi   dan potensi desa. Sedangkan faktor-faktor yang menjadi kendala pembangunan desa dapat dijadikan salah satu target dari upaya pembangunan perdesaan.

computer, desktop, notebook

Notebook / Laptop Hybrid Intel Core I7

Contact Form

Name

Email *

Message *

Translate

Anda Perlu Komputer dan Laptop

Kulit Anda Ingir Bersih